Sabtu, 07 November 2015

Efektifkah jika sampah dikelola oleh PEMDA??

Barangkali masalah sampah tidak akan menjadi problem besar jika bukan karena sampah DKI yang jumlahnya hampir 6000 ton perhari dan provinsi DKI memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap TPST Bantargebang yang ada di wilayah Bekasi.

Berbagai fakta menarik  muncul ketika konflik antara PEMDA DKI dan PT Godang Tua Jaya selaku pengelola sampah di Bantar gebang. Mulai dari tipping fee yang besarnya mencapai ratusan miliyar per tahun, dipotongnya "uang polusi bau" sebagai uang kerohiman bagi masyarakat sekitar Bantar gebang oleh PEMKOT Bekasi  yang besarnya Rp 300.000/3 bulan , yang nyatanya hanya diterima kurang dari itu, dengan alasan sebagian untuk kegiatan kerohanian dsb. Lahan Bantar gebang juga jadi masalah ketika PEMDA DKI mengklaim lahan itu milik PEMDA DKI dan bersertifikat, sementara pihak lain mengkalim milik mereka, juga masalah-masalah lain. Masalah penghadangan truk angkutan sampah oleh aparat Pemkot DKI dan protes sebagian masyarakat Cileungsi yang menolak jalannya dilalui truk sampah menambah rumit penyelesaian masalah. Gubernur DKI yang temperamen berkilah, jika truk sampah dilarang melalui jalan Cileungsi Jawa Barat, PEMDA DKI juga akan melarang atau membatasi kendaraan dari luar Jakarta untuk masuk Jakarta, repot memang cara berpikir Gubernur DKI yang sekarang.

Tahun 2016, PEMDA DKI  berencana akan melakukan swakelola sampah Jakarta karena anggaran yang diusulkan ternyata bisa lebih murah daripada pembiayaan jika diserahkan kepada swasta.    
"‎Anggaran swakelola sampah yang kita usulkan dalam anggaran 2016 Rp 260 miliar. Jumlahnya lebih kecil ketimbang tipping fee yang menelan dana Rp 336 miliar dalam APBD 2015," kata Ali Maulana, Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI di Balai Kota, Kamis (5/11). Lebih lanjut menurut Ali Maulana, anggaran sebesar itu akan dipakai untuk membeli alat berat dan biaya operasional mengelola sampah selama satu tahun.

Jika tahun depan PEMDA DKI akan melakukan swakelola sampah Jakarta, akan efektifkah penanganan sampah selanjutnya?? Bagaimana dengan kota-kota lain??

Sampah selalu ada, di kota kecil, di kota besar. Di rumah, industri, pasar atau restoran, mall dan berbagai tempat yang lain. Sampah jika dilihat dari volume, akan menjadi masalah ketika volumenya besar, berserakan dimana-mana, dibuang ke selokan atau sungai yang mengakibatkan tersumbatnya arus sungai dan banjir. Masyarakat selalu berpikir, sampah akan selesai jika sampah itu dibuang pada tempat sampah. lihat saja slogan yang terpampang di tempat sampah selalu berbunyi; buanglah sampah pada tempatnya.

Padahal sampah tetaplah sampah. di selokan, di sungai, di jalan atau di tempat sampah sementara atau tempat sampah akhir, sampah tidak akan berubah menjadi emas dengan sendirinya dan tetaplah sampah yang kotor, bau dan memakan banyak tempat. Dan jika policy setiap PEMDA hanya berkisar pada pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan, maka sampah sampai kapanpun tidak akan pernah selesai. Sampah di tempat sampah hanya menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu.

Solusi satu-satunya adalah membuat sampah menjadi issue nasional dan ditangani suatu kementerian secara komprehensif, dari awal hingga akhir. dan penanganan sampah harus diusahakan sampai sampah dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna dalam bentuk lain. Usaha daur ulang  bukan tidak diapresiasi, tetapi selama jumlahnya hanya sedikit tidak cukup membantu secara signifikan dalam memanfaatkan sampah.

Kementerian yang paling cocok adalah kementerian lingkungan hidup yang bisa membuat sampah menjadi issue nasional dan penanganannya bisa satu arah. Kementerian Lingkungan Hidup bisa membuat peraturan pelaksanaan sesuai UU no 18 tahun 2008 secara nasional. Membuat anggaran pengelolaan sampah dengan  membentuk BUMN dan BUMD. Bisa bekerjasama dengan kementerian lain dan BUMN yang terkait misal dengan Kementerian ESDM untuk pengelolaan energi terbarukan dll.


Kamis, 05 Februari 2015

Tugas Utama Sekolah, memberikan pendidikan dan perlindungan terhadap siswa.

Di muat di TEMPO.COJakarta - Enam siswa SMA 3 Jakarta diskors oleh pihak sekolah lantaran diduga terlibat dalam pengeroyokan terhadap seorang warga setempat. Skorsing ini kemudian diprotes oleh para orang tua siswa,  Frans Paulus, orang tua salah satu siswa menyatakan, apa yang dilakukan anak-anak itu adalah upaya pembelaan diri. "Mereka merasa terancam dan terdesak. Karenanya mereka melawan," kata dia Kamis 5 Februari 2015. Kepsek SMA 3 Jakarta Retno Listyarti mengatakan, para siswa itu telah melakukan kekerasan meskipun mereka disebut melakukan pembelaan diri. "Mereka telah mengeroyok orang lain hingga terluka," kata dia. Di dunia pendidikan, kata Retno, hal tersebut sudah melanggar peraturan. "Pak Gubernur sendiri sudah menyatakan pelaku kekerasan harus dikeluarkan," ujarnya.

Sebelumnya memang sudah diumumkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan memberikan teguran keras pada siswa sekolah yang terlibat tawuran. Salah satunya, mereka akan dilarang bersekolah di Jakarta. Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Lasro Marbun, dirinya telah mendapatkan perintah untuk melarang siswa yang ikut tawuran bersekolah di Jakarta. Perintah ini diterima dari Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) yang saat itu masih menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta"Saya soal berantem di sekolah, soal bullying, saya minta siapa pun yang berantem di kelas di keluarkan dari sekolah negeri, tidak ada toleransi," kata Ahok di Taman Monas Jakarta.

Kekerasan di lingkungan sekolah di Jakarta memang beragam mulai dari bulliying siswa senior terhadap junior, tawuran antar pelajar antar sekolah, perkelahian sesama pelajar di sekolah atau pelecehan staff dan guru sekolah terhadap murid. Belum lagi perselisihan dan perkelahian siswa sekolah dengan lingkungan sekitar, karena rata-rata lokasi sekolah di Jakarta berdampingan dengan kompleks perumahan, kompleks perkantoran, lokasi bisnis komersial dan sebagainya.

Dalam peristiwa kekerasan yang terjadi antara siswa-siswa SMA 3 dengan wrga sekitar yang juga alumni sekolah tersebut, seyogyanya pihak sekolah hati-hati dalam menyelesaikan kasusnya. Pemberlakuan hukuman skorsing kepada siswa-siswa SMA 3 tidak serta merta menyelesaikan kasusnya, bahkan dikhawatirkan akan memicu konflik yang lebih besar dan berkepanjangan. Pihak sekolah tidak pantas menyelesaikan kasus itu hanya berdasarkan arahan Gubernur tanpa mempertimbangkan pihak-pihak lain yang berkaitan.

Pemberlakuan skorsing secara sepihak oleh sekolah kepada siswa pantas diterapkan bila peristiwa itu dilakukan di lingkungan sekolah atau dilakukan di luar sekolah dengan siswa sekolah lain, karena perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai kenakalan pelajar. Tetapi jika melibatkan pihak lain yang bukan pelajar, seharusnya sekolah melindungi siswa sekolahnya, bukan menghukumnya. Seolah-olah Sekolah membenarkan tindakan pihak-pihak lain (warga sekitar yang alumni sekolah tsb) untuk melakukan perbuatan-perbuatan intimidasi dan gangguan dan menjustifikasi siswa sekolahnya sebagi pihak yang salah.

Perlu dikaji lebih dulu sejauhmana keterlibatan alumni dari warga sekitar sehingga terjadi tindak kekerasan yang dilakukan para siswa itu. Tetapi terlepas dari itu semua, bagaimana Sekolah melindungi siswa-siswanya adalah yang tindakan lebih penting dibanding mendahulukan hukuman. Bagaimanapun sekolah adalah lembaga atau institusi yang diserahkan orangtua sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan dan perlindungan saat mereka masih berada di lingkungan sekolah.

Sekolah harus bertindak lebih arif dalam menghadapi gesekan yang terjadi antara pihak sekolah, staff sekolah, guru atau siswa dengan lingkungannya. Tidak selamanya warga yang berada di lingkungan diberlakukan sama dengan aturan yang berlaku bagi siswa. Boleh jadi jika Sekolah tidak melindungi para siswanya akan terjadi intimidasi yang lebih besar dan membuat para siswa takut untuk bersekolah, mengingat pelaku yang terlibat adalah mereka yang tergolong lebih tua usianya dibanding para siswa yang masih remaja.

Sekolah punya perangkat seperti keamanan, staff dan punya koordinasi dengan pihak aparat penegak hukum seperti polisi yang dapat memberikan bantuan perlindungan dari pihak-pihak lain yang mengganggu keamanan sekolah dan para siswanya. Siswa yang terlibat kekerasan memang tidak dibenarkan, tetapi perlu pertimbangan yang lebih baik dengan melibatkan orangtua atau pihak aparat dalam menyelesaikan masalahnya. Jangan menggunakan kacamata kuda arahan Gubernur saja tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain.


Sabtu, 31 Januari 2015

100 hari yang melelahkan..

Kasihan Presiden kita, baru genap 100 hari pemerintahannya, permasalahan yang menderanya begitu bertubi-tubi. Meski perebutan kursi RI 1 berjalan sesuai dengan harapan masyarakat banyak yang menginginkan Indonesia baru, masalah yang mengintai ternyata diam-diam mulai tampak dan menggerogoti harapan akan "New Hope" seperti yang dilansir majalah Time sekian waktu lalu.

Ternyata kursi RI1 benar-benar panas, dan membuat siapapun yang duduk di atasnya menjadi gerah. Lihat saja, pemilihan calon RI2 yang dikira aman-aman saja ternyata menyimpan bara panas, seperti diungkap salah seorang pimpinan partai pendukung Presiden sendiri. Siapa yang mengira jabatan RI2 diperebutkan dan ditawar-tawarkan bagai menjajakan pendamping pengantin baru dan akhirnya menjerat calon-calon pendampingnya ke kursi panas lain, pesakitan dan penjara.

Masalah mulai muncul saat proses transisi pemerintahan yang menimbulkan berbagai pendapat yang bertentangan. Sebuah tradisi baru yang ingin dimulai oleh presiden terpilih Jokowi - JK dalam membentuk pemerintahan yang sesuai harapan rakyat. Rumah Transisi yang diisi orang-orang "Pilihan" ternyata menimbulkan pro dan kontra dalam persiapan merumuskan pemerintahan yang baru. Mulai dari jumlah Menteri kabinet yang simpang siur, sampai "blusukan" kemana-mana yang bersinggungan dengan pemerintahan definitif SBY.

Tidak seperti saat SBY memulai pemerintahannya tahun 2004, Jokowi - JK ingin membuat "negeri impian" yang ditawarkan saat kampanye presiden menjadi sebuah negeri yang nyata saat memasuki pintu gerbang pemerintahannya. Sayangnya membangun sebuah fondasi "new era" tidaklah mudah karena Jokowi mewarisi sistem pemerintahan yang dibangun selama 10 tahun masa SBY, yang juga merupakan warisan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Harapan ingin membangun sebuah pemerintahan baru, tetapi kenyataannya hanya diberikan kesempatan "merenovasi" sistem lama sedikit demi sedikit.

Pemilihan kabinet ramping dan kabinet ideal jadi polemik, yang akhirnya diputuskan sama dengan pemerintahan era SBY meski dengan penekanan berbeda di sektor-sektor seperti Kelautan, Poros Maritim, Pembangunan Desa dll. Jatah menteri dari profesional dan partaipun banyak disanggah orang karena proporsionalnya yang tidak berdasar. Kementerian dirombak dan dimerger, dibentuk kementerian-kementerian baru seperti Kementerian koordinator Pembangunan manusia dan Kebudayaan .(???) dan Menteri Agraria dan Tata ruang, dan pelaksananya yang dicurigai sebagai bagi-bagi jatah untuk partai pendukungnya. 

Sikap yang menggunakan standar ganda juga dituding ke Presiden Jokowi saat beliau memilih dan melantik Jaksa Agung dari Partai Politik yang "dikabarkan" tidak memiliki prestasi, demikian juga Menteri Hukum dan HAM dari partainya sendiri PDIP. Jaksa Agung yang berasal dari Partai Nasdem dipilih tanpa melibatkan KPK dan PPATK, hal yang tidak dilakukan ketika memilih Menteri-menteri yang lain.

Masalah berikut yang menghantui ketika disadari betapa keringnya likuiditas keuangan dan sempitnya neraca keuangan yang sudah disahkan pemerintahan SBY yang dikhawatirkan menyulitkan gerak dan fleksibilitas pemerintahan Jokowi. Tarik ulur menghapuskan Subsidi BBM salah satu contoh kongkrit yang membebani pemerintahan Jokowi. Efek politis dan psikologis kebijakan yang tidak populis itu dibebankan kepada pemerintahan yang seumur jagungpun belum. 

Masalah terakhir adalah pencalonan BG sebagai calon Kapolri yang berbuntut pada Trilogi Cicak- Buaya. Bahkan kalangan pengamat menyebutkan konflik kali ini melibatkan partai politik sehingga diplesetkan menjadi Cicak vs Banteng Buaya. Konflik historis yang langsung melemahkan sendi-sendi penegakan hukum di Indonesia karena berseterunya antar penegak hukum. Warisan korupsi di kalangan penegak hukum dengan rekening gendut perwira tinggi POLRI yang tidak tuntas diselesaikan pemerintahan yang lalu, benar-benar menjadi polemik dan bumerang kepada Presiden Jokowi sendiri.

Penetapan sebagai tersangka oleh KPK sehari sebelum fit n proper test di DPR dijadikan bola panas dengan disetujuinya BG dalam rapat paripurna DPR dan dikembalikan ke presiden Jokowi. Jokowi berkelit menunda pelantikan BG sebagai Kapolri dan menetapkan Wakapolri sebagai pelaksana Kapolri. Perseteruan berlanjut dengan penangkapan Wakil Ketua KPK BW oleh Bareskrim dengan laporan peristiwa hukum tahun 2010. Sebelumnya AS dilaporkan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristyanto melanggar kode etik saat pencalonan RI 2, ketika mengadakan pertemuan dengan para petinggi PDIP dan menjanjikan penyelesaian kasus korupsi EM, salah seorang Kader PDIP. Tuduhan ini berbuntut dengan munculnya seruan AS mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Berturut-turut muncul pula pengaduan terhadap wakil ketua KPK yang lain APP, yang diadukan ke polisi masalah hukum tahun 2006 di Berau Kaltim. Lengkap sudah drama perseteruan antar penegak hukum KPK - POLRI. Selain Busro Muchodas yang mengundurkan diri, Ketua dan 2 Wakil Ketua KPK praktis tidak dapat melaksanakan tugasnya karena berurusan dengan polisi.

Perseteruan KPK - POLRI masih berlanjut, dan pengacara BG mempraperadilankan penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK. BG tidak mau menghadiri panggilan KPK, begitu juga saksi-saksi dari kalangan kepolisian. BW sudah memberikan surat pengunduran diri dari jabatannya Wakil Ketua KPK sebagai konsekwensi penetapannya sebagai tersangka. Jokowi ditekan berbagai pihak untuk segera melantik BG sebagai Kapolri, meski saran dari tim 9 yang dibentuk presiden menyarankan lain.

Sungguh 100 hari yang melelahkan bagi Presiden Jokowi, dan juga 100 hari yang melelahkan bagi rakyat Indonesia..