Sabtu, 31 Januari 2015

100 hari yang melelahkan..

Kasihan Presiden kita, baru genap 100 hari pemerintahannya, permasalahan yang menderanya begitu bertubi-tubi. Meski perebutan kursi RI 1 berjalan sesuai dengan harapan masyarakat banyak yang menginginkan Indonesia baru, masalah yang mengintai ternyata diam-diam mulai tampak dan menggerogoti harapan akan "New Hope" seperti yang dilansir majalah Time sekian waktu lalu.

Ternyata kursi RI1 benar-benar panas, dan membuat siapapun yang duduk di atasnya menjadi gerah. Lihat saja, pemilihan calon RI2 yang dikira aman-aman saja ternyata menyimpan bara panas, seperti diungkap salah seorang pimpinan partai pendukung Presiden sendiri. Siapa yang mengira jabatan RI2 diperebutkan dan ditawar-tawarkan bagai menjajakan pendamping pengantin baru dan akhirnya menjerat calon-calon pendampingnya ke kursi panas lain, pesakitan dan penjara.

Masalah mulai muncul saat proses transisi pemerintahan yang menimbulkan berbagai pendapat yang bertentangan. Sebuah tradisi baru yang ingin dimulai oleh presiden terpilih Jokowi - JK dalam membentuk pemerintahan yang sesuai harapan rakyat. Rumah Transisi yang diisi orang-orang "Pilihan" ternyata menimbulkan pro dan kontra dalam persiapan merumuskan pemerintahan yang baru. Mulai dari jumlah Menteri kabinet yang simpang siur, sampai "blusukan" kemana-mana yang bersinggungan dengan pemerintahan definitif SBY.

Tidak seperti saat SBY memulai pemerintahannya tahun 2004, Jokowi - JK ingin membuat "negeri impian" yang ditawarkan saat kampanye presiden menjadi sebuah negeri yang nyata saat memasuki pintu gerbang pemerintahannya. Sayangnya membangun sebuah fondasi "new era" tidaklah mudah karena Jokowi mewarisi sistem pemerintahan yang dibangun selama 10 tahun masa SBY, yang juga merupakan warisan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Harapan ingin membangun sebuah pemerintahan baru, tetapi kenyataannya hanya diberikan kesempatan "merenovasi" sistem lama sedikit demi sedikit.

Pemilihan kabinet ramping dan kabinet ideal jadi polemik, yang akhirnya diputuskan sama dengan pemerintahan era SBY meski dengan penekanan berbeda di sektor-sektor seperti Kelautan, Poros Maritim, Pembangunan Desa dll. Jatah menteri dari profesional dan partaipun banyak disanggah orang karena proporsionalnya yang tidak berdasar. Kementerian dirombak dan dimerger, dibentuk kementerian-kementerian baru seperti Kementerian koordinator Pembangunan manusia dan Kebudayaan .(???) dan Menteri Agraria dan Tata ruang, dan pelaksananya yang dicurigai sebagai bagi-bagi jatah untuk partai pendukungnya. 

Sikap yang menggunakan standar ganda juga dituding ke Presiden Jokowi saat beliau memilih dan melantik Jaksa Agung dari Partai Politik yang "dikabarkan" tidak memiliki prestasi, demikian juga Menteri Hukum dan HAM dari partainya sendiri PDIP. Jaksa Agung yang berasal dari Partai Nasdem dipilih tanpa melibatkan KPK dan PPATK, hal yang tidak dilakukan ketika memilih Menteri-menteri yang lain.

Masalah berikut yang menghantui ketika disadari betapa keringnya likuiditas keuangan dan sempitnya neraca keuangan yang sudah disahkan pemerintahan SBY yang dikhawatirkan menyulitkan gerak dan fleksibilitas pemerintahan Jokowi. Tarik ulur menghapuskan Subsidi BBM salah satu contoh kongkrit yang membebani pemerintahan Jokowi. Efek politis dan psikologis kebijakan yang tidak populis itu dibebankan kepada pemerintahan yang seumur jagungpun belum. 

Masalah terakhir adalah pencalonan BG sebagai calon Kapolri yang berbuntut pada Trilogi Cicak- Buaya. Bahkan kalangan pengamat menyebutkan konflik kali ini melibatkan partai politik sehingga diplesetkan menjadi Cicak vs Banteng Buaya. Konflik historis yang langsung melemahkan sendi-sendi penegakan hukum di Indonesia karena berseterunya antar penegak hukum. Warisan korupsi di kalangan penegak hukum dengan rekening gendut perwira tinggi POLRI yang tidak tuntas diselesaikan pemerintahan yang lalu, benar-benar menjadi polemik dan bumerang kepada Presiden Jokowi sendiri.

Penetapan sebagai tersangka oleh KPK sehari sebelum fit n proper test di DPR dijadikan bola panas dengan disetujuinya BG dalam rapat paripurna DPR dan dikembalikan ke presiden Jokowi. Jokowi berkelit menunda pelantikan BG sebagai Kapolri dan menetapkan Wakapolri sebagai pelaksana Kapolri. Perseteruan berlanjut dengan penangkapan Wakil Ketua KPK BW oleh Bareskrim dengan laporan peristiwa hukum tahun 2010. Sebelumnya AS dilaporkan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristyanto melanggar kode etik saat pencalonan RI 2, ketika mengadakan pertemuan dengan para petinggi PDIP dan menjanjikan penyelesaian kasus korupsi EM, salah seorang Kader PDIP. Tuduhan ini berbuntut dengan munculnya seruan AS mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Berturut-turut muncul pula pengaduan terhadap wakil ketua KPK yang lain APP, yang diadukan ke polisi masalah hukum tahun 2006 di Berau Kaltim. Lengkap sudah drama perseteruan antar penegak hukum KPK - POLRI. Selain Busro Muchodas yang mengundurkan diri, Ketua dan 2 Wakil Ketua KPK praktis tidak dapat melaksanakan tugasnya karena berurusan dengan polisi.

Perseteruan KPK - POLRI masih berlanjut, dan pengacara BG mempraperadilankan penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK. BG tidak mau menghadiri panggilan KPK, begitu juga saksi-saksi dari kalangan kepolisian. BW sudah memberikan surat pengunduran diri dari jabatannya Wakil Ketua KPK sebagai konsekwensi penetapannya sebagai tersangka. Jokowi ditekan berbagai pihak untuk segera melantik BG sebagai Kapolri, meski saran dari tim 9 yang dibentuk presiden menyarankan lain.

Sungguh 100 hari yang melelahkan bagi Presiden Jokowi, dan juga 100 hari yang melelahkan bagi rakyat Indonesia..