Ketika mendengar symposium peringatan ASEAN Dengue Day ke 6, 15 Juni 2016 lalu di Grand Sahid Jaya hotel di Jakarta,
isu yang saya dengar adalah peluncuran vaksin DBD. Ditemukannya vaksin DBD
adalah sesuatu yang membuat saya takjub, karena sebagai orang tua, penyakit DBD
adalah penyakit yang mengerikan, terutama bila menjangkit kepada anak-anak.
Bagi saya penyakit DBD atau demam
berdarah adalah penyakit yang termasuk silent killer, penyakit yang mematikan
secara diam-diam. Betapa tidak, penderita DBD, terutama anak-anak, gejalanya
seperti panas biasa, demam atau pusing-pusing yang menyertai. Karena gejalanya
yang hanya mirip-mirip penyakit panas pada umumnya, maka orang tua kebanyakan
hanya akan memberi obat turun panas dan pain killer untuk meredakan panas dan
pusingnya.
Jarang orang tua yang
berinisiatif untuk memeriksa apakah ada ruam atau bintik-bintik yang menyertai
(selain banyak yang tidak paham caranya) atau langsung membawa ke dokter.
Biasanya setelah demam lebih dari 2 atau 3 hari, barulah dibawa ke puskesmas
atau ke dokter untuk memeriksakan penyakitnya. Sering akhirnya orangtua terlambat
memeriksakan ke dokter dan menangani secara serius, sehingga sudah tidak bisa
diobati akhirnya meninggal. Inilah yang saya sebut dengan silent killer,
penyakit yang mematikan, akibat kurangnya pemahaman dan lebih sering terlambat
menanganinya.
Belum lagi penyakit ini
ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti yang sangat mudah bersarang di
rumah-rumah, dan tercatat sebagai jenis nyamuk yang paling cepat berkembang di
dunia. Dari data WHO, Indonesia merupakan Negara ke-2 diantara 30 negara endemik yang memiliki
kasus DBD. Meski angka kematian akibat penyakit ini hanya sekitar 1%, terlihat
dari data 34 provinsi thn 2015, dengan penderita 129.179, yang meninggal
sebanyak 1240 orang, pemerintah sering menetapkan kasus DBD sebagai kategori
bahaya. Laporan
terakhir yang bisa dirangkum menjelang akhir Januari 2016 ini, DBD sedikitnya
sudah masuk ketagori bahaya di 3 wilayah yang berbeda di Indonesia, yakni
Jambi, Jombang, dan Bogor.
Sepanjang
50 tahun, penyakit DBD telah menginvasi lebih dari 100 negara sejak tahun 1970
yang hanya tercatat 9 negara, sehingga DBD termasuk sebagai penyakit dengan
penyebaran tercepat di dunia. Dengan penyebaran yang demikian cepat dan angka
kerugian akibat kematian dan kerugian ekonomi berdasar riset Sanofi Pasteur selama 10 tahun sejak tahun 2001 mencapai $1 milyar/tahun.
Untuk
memerangi penyakit DBD di ASEAN, dibentuk suatu kesepakatan yang dicanangkan
dalam ASEAN Health Ministers Meeting 22 Juli 2011 di Singapura dengan
menetapkan 15 Juni sebagai ASEAN Dengue Day. Indonesia bertindak sebagai tuan
rumah dalam peluncuran ADD 2011 di Jakarta dengan tema “Jakarta Call for Action
on Combating Dengue”. Tahun ini yang bertindak sebagai tuan rumah peringatan
ADD adalah Negara Thailand.
Hj. Airin R D, walikota Tangsel bersama Prof Dr dr Sri Rejeki dalam ADD 2016 |
Peringatan
ADD 2016 tahun ini memang belum bisa meluncurkan vaksin seperti isu yang saya
dengar, tetapi setidaknya melalui ADD tahun ini, diingatkan kembali bahwa untuk
memerangi DBD adalah dengan cara memerangi nyamuk aedes aegypty sebagai vector
pembawa penyakit DBD. Dalam diskusi ini
Prof. Dr dr Sri Rejeki Hadinegoro Sp.A(K) selaku ketua Indonesian
Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) mengatakan, hingga saat ini
memang belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan serangan penyakit DBD.
Pasien yang terserang penyakit DBD hanya dilakukan upaya pemberian cairan,
mengurangi bahaya shock, dan asupan oksigen, karena seringnya pasien mengalami
sesak napas. Ketidaktahuan pasien dan keluarga tentang penanganan dini dan
penanganan dokter di rumah sakit sering mengakibatkan konflik, karena keluarga
pasien menganggap bahwa pasien tidak ditangani dan diobati. Bahkan seringkali pasien dibawa ke rumah sakit
ketika kondisinya sudah sangat parah dan terjadi pendarahan atau pecahnya
pembuluh darah yang mengakibatkan kematian.
Perang
terhadap DBD dilakukan dengan gerakan 1 rumah 1 jumantik (juru Pemantau jentik)
ditambah dengan program 3 M plus. Gerakan ini merupakan program pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) dan pencegahan perkembangbiakan nyamuk dengan memberantas
jentik-jentiknya. Pembersihan sarang-sarang nyamuk seperti tempat penampungan
air (water tank), bak mandi, tempat penampungan dispenser, tempat minum
binatang peliharaan (burung, ayam, kelinci dll) dan tempat-tempat dimana air
tergenang. Para Jumantik harus secara konsisten melakukan pengawasan secara
berkala karena kemampuan nyamuk berkembang biak yang sangat cepat (7-10 hari).
Di setiap rumah diharapkan kepala keluarga menjadi pemimpin dalam melaksanakan
pemberantasan sarang nyamuk dan program 3 M plus, menguras, menutup dan
mengubur serta langkah-langkah tambahan dengan menggunakan obat
nyamuk/antinyamuk sesuai dosis dan petunjuk pemakaian pada kemasan; menggunakan
kelambu saat tidur siang dan malam hari; menanam tanaman pengusir nyamuk
seperti lavender, zodia; memelihara ikan yang dapat memakan jentik nyamuk pada
kolam atau bak mandi; menghindari daerah gelap di dalam rumah agar tidak
ditempati nyamuk dengan mengatur ventilasi dan pencahayaan; serta memberi bubuk
larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan.
Walikota Tangerang Selatan. Hj.
Airin Rachmi Diany membagi pengalaman gerakan 1 rumah 1 jumantik di Tangsel yang
melibatkan 3 RW sebagai daerah percontohan nasional penanganan DBD. Di RW 10, 12 dan 28 Perumahan Villa Inti Persada
Pamulang, dibentuk pelatihan 450 mahasiswa sebagai kader Jumantik yang nantinya
akan melatih warga untuk mencegah wabah DBD di tingkat RW. Hasil percontohan 3
RW di Tangsel itu menunjukkan angka indikator di Tangsel lebih rendah daripada indikator
nasional. Angka indikator nasional
49/100 artinya dari 100 ribu penduduk angka penderita maksimal 49, sedang di Tangsel
angkanya 47/100.
Gerakan 1 rumah 1 jumantik yang
menjadi program nasional pencegahan DBD adalah bentuk partisipasi masyarakat
yang dihimpun secara berjenjang mulai dari Jumantik di tingkat rumah, kelompok
RT, RW hingga tingkat yang lebih tinggi dengan mengumpulkan laporan dan data
perkembangan dan pertumbuhan jentik nyamuk secara berkala. Dengan basis data
ini diharapkan pencegahan secara dini Pemberantasan Sarang Nyamuk dapat
mencegah mewabahnya DBD di tingkat masyarakat yang paling rendah.
Tulisan ini murni pendapat pribadi dan didukung oleh Sanofi group Indonesia
Tulisan ini murni pendapat pribadi dan didukung oleh Sanofi group Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar