Selasa, 14 Juni 2016

Untuk Angelina, stop Child abuse

Ketika kasus pembunuhan Engeline, sosok perempuan mungil berusia 9 tahun terkuak di media tahun lalu, publik kini semakin miris karena gelombang kekerasan kepada anak dan perempuan makin menjadi-jadi, makin sadis dan makin brutal. Peristiwa demi peristiwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak intensitasnya semakin tinggi diberitakan di media cetak, televisi maupun di media sos
ial. Peristiwa Cangkul berdarah di Tangerang yang kemudian menjadi inpirasi bagi pelaku pemerkosaan  di Makasar menunjukkan perilaku kekerasan terhadap anak dan perempuan sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Sebuah kesempatan berdiskusi tentang anak berkaitan dengan kekerasan terhadap anak dan perempuan, baru saja digelar Ramadhan Bincang Anak 1437H bertemakan “ Ayo jadi sahabat anak”. Tema ini dirasa sangat pas ketika kekerasan terhadap anak ternyata secara tidak sadar dilakukan mulai dari rumah tangga, sekolah dan lingkungan. Terlebih lagi di sekolah, dimana tempat anak memperoleh perlindungan, kenyamanan dan kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan dalam suasana yang menggembirakan, ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Kini seorang anak pergi ke sekolah dengan menyandang beban yang sangat berat, buku-buku tak mampu lagi terangkut dalam sebuah tas, melainkan dalam bentuk koper. Beban pelajaran yang sangat banyak dengan tuntutan semua harus dikuasai sesuai kemauan guru, bahkan dengan kesempatan bermain dan berekspresi yang sangat kurang akibat fasilitas yang minim dari sekolah.
Beberapa fakta yang mencengangkan ini diungkap oleh Kak Seto Mulyadi, pakar psikologi anak yang telah berkecimpung lebih dari 46 tahun dalam pendidikan TK (taman Kanak-kanak). Kini anak-anak pergi ke sekolah dengan perasaan stress yang tinggi. Beban PR dari guru-guru yang kadang tidak berimbang dengan kemampuan siswa. Satu guru memahami satu atau 2 mata pelajaran, tetapi seorang siswa diharuskan memahami semua mata pelajaran sesuai dengan kurikulum, sehingga muncul anggapan kurikulum pendidikan di Indonesia kurang berpihak pada hak anak.
Sebuah fakta yang sangat mengejutkan ketika diungkapnya jumlah warga binaan lembaga pemasyarakatan menempati 3 besar adalah para pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan. Fakta ini mengungkapkan betapa kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan akibat dari kurangnya kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap anak. Ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap 4 hak dasar  anak seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan dan hak berpartisipasi mengakibatkan pola asuh anak mulai dari rumah tangga, sekolah dan lingkungan tidak lagi di dasari pada pemenuhan hak anak tersebut.
Solusi yang dikedepankan dalam pola asuh dan mendidik anak menurut Kak Seto, adalah mendidik dengan CINTA. Orangtua dituntut menjadi artis multi talenta yang perannya lebih pada sahabat anak, bukan hanya sebagai orang tua. Dengan menjadi sahabat anak, maka orang tua dituntut untuk kreatif sebagai penyanyi, pendongeng, pelawak, pesulap atau sebagai ilmuwan.  Kak Seto yang kini didaulat kembali sebagai Ketua Komnas Anak Era Baru mencanangkan pembentukan Satgas Perlindungan Anak hingga tingkat RT/RW seluruh Indonesia dalam rangka mensosialisaikan “Jadi Sahabat Anak”.

Kekerasan anak terhadap Angeline yang dituangkan dalam film UNTUK ANGELINE mencoba mengadaptasi fakta persidangan dalam kisah tragis dan mengenaskan yang menimpa Engeline di Surabaya thn 2015 lalu. Film yang dibuat dalam rangka Hari Anak Nasional bulan Juli yad akan tayang tgl 21 Juli secara nasional. Film ini didukung banyak tokoh dan artis ternama seperti Kinaryosi, Ratna Riantiarno, Kak Seto dan Dewi Hughes. Naomi Ivo berperan sebagai Angeline.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar