Ketika kasus pembunuhan Engeline,
sosok perempuan mungil berusia 9 tahun terkuak di media tahun lalu, publik kini
semakin miris karena gelombang kekerasan kepada anak dan perempuan makin
menjadi-jadi, makin sadis dan makin brutal. Peristiwa demi peristiwa kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak intensitasnya semakin tinggi diberitakan
di media cetak, televisi maupun di media sos
ial. Peristiwa Cangkul berdarah di
Tangerang yang kemudian menjadi inpirasi bagi pelaku pemerkosaan di Makasar menunjukkan perilaku kekerasan
terhadap anak dan perempuan sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Sebuah kesempatan berdiskusi
tentang anak berkaitan dengan kekerasan terhadap anak dan perempuan, baru saja
digelar Ramadhan Bincang Anak 1437H bertemakan “ Ayo jadi sahabat anak”. Tema
ini dirasa sangat pas ketika kekerasan terhadap anak ternyata secara tidak
sadar dilakukan mulai dari rumah tangga, sekolah dan lingkungan. Terlebih lagi
di sekolah, dimana tempat anak memperoleh perlindungan, kenyamanan dan
kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan dalam suasana yang menggembirakan,
ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Kini seorang anak pergi ke sekolah
dengan menyandang beban yang sangat berat, buku-buku tak mampu lagi terangkut
dalam sebuah tas, melainkan dalam bentuk koper. Beban pelajaran yang sangat
banyak dengan tuntutan semua harus dikuasai sesuai kemauan guru, bahkan dengan
kesempatan bermain dan berekspresi yang sangat kurang akibat fasilitas yang
minim dari sekolah.
Beberapa fakta yang mencengangkan
ini diungkap oleh Kak Seto Mulyadi, pakar psikologi anak yang telah
berkecimpung lebih dari 46 tahun dalam pendidikan TK (taman Kanak-kanak). Kini
anak-anak pergi ke sekolah dengan perasaan stress yang tinggi. Beban PR dari
guru-guru yang kadang tidak berimbang dengan kemampuan siswa. Satu guru
memahami satu atau 2 mata pelajaran, tetapi seorang siswa diharuskan memahami
semua mata pelajaran sesuai dengan kurikulum, sehingga muncul anggapan
kurikulum pendidikan di Indonesia kurang berpihak pada hak anak.
Sebuah fakta yang sangat
mengejutkan ketika diungkapnya jumlah warga binaan lembaga pemasyarakatan menempati
3 besar adalah para pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan. Fakta ini
mengungkapkan betapa kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan akibat dari
kurangnya kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap anak. Ketidaktahuan
atau ketidakpedulian terhadap 4 hak dasar anak seperti hak hidup, hak tumbuh dan
berkembang, hak perlindungan dan hak berpartisipasi mengakibatkan pola asuh
anak mulai dari rumah tangga, sekolah dan lingkungan tidak lagi di dasari pada
pemenuhan hak anak tersebut.
Solusi yang dikedepankan dalam
pola asuh dan mendidik anak menurut Kak Seto, adalah mendidik dengan CINTA.
Orangtua dituntut menjadi artis multi talenta yang perannya lebih pada sahabat
anak, bukan hanya sebagai orang tua. Dengan menjadi sahabat anak, maka orang
tua dituntut untuk kreatif sebagai penyanyi, pendongeng, pelawak, pesulap atau sebagai
ilmuwan. Kak Seto yang kini didaulat
kembali sebagai Ketua Komnas Anak Era Baru mencanangkan pembentukan Satgas
Perlindungan Anak hingga tingkat RT/RW seluruh Indonesia dalam rangka
mensosialisaikan “Jadi Sahabat Anak”.
Kekerasan anak terhadap Angeline
yang dituangkan dalam film UNTUK ANGELINE mencoba mengadaptasi fakta persidangan
dalam kisah tragis dan mengenaskan yang menimpa Engeline di Surabaya thn 2015
lalu. Film yang dibuat dalam rangka Hari Anak Nasional bulan Juli yad akan
tayang tgl 21 Juli secara nasional. Film ini didukung banyak tokoh dan artis
ternama seperti Kinaryosi, Ratna Riantiarno, Kak Seto dan Dewi Hughes. Naomi
Ivo berperan sebagai Angeline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar