Kamis, 21 Juli 2016

Nusantara Sehat, pengabdian dokter dan dokter gigi di daerah terpencil

Profesi seorang dokter di mata masyarakat umumnya sebuah profesi yang menjanjikan kemakmuran, kemewahan dan mudahnya mendapatkan uang. Jarang orang membayangkan seorang dokter hidup pas-pasan atau sederhana, meski hanya seorang dokter umum, apalagi jika membayangkan kehidupan seorang dokter spesialis.
Image seorang dokter yang hidup berkecukupan atau mewah dianggap wajar dengan lamanya waktu kuliah, mahalnya biaya kuliah di fakultas kedokteran dan jalan yang harus ditempuh cukup berliku disbanding seorang PNS biasa. Belum lagi seorang dokter diwajibkan menjalani praktek kerja lapangan di daerah, daerah terpencil atau sangat terpencil dengan jangka waktu tertentu.
Saat ini populasi dokter di Indonesia 1:2500 yang artinya 1 orang dokter melayani sedikitnya 2500 pasien. Dari angka rasio tersebut sebenarnya kebutuhan dokter di Indonesia terbilang cukup. Yang menjadi masalah penyebaran dokter di Indonesia tidak merata, misal di Jakarta jumlah dokter 157 untuk melayani 100.000 orang, yang perbandingannya sangat jauh berbeda dengan di daerah dimana 1 orang dokter harus melayani lebih dari 10.000 orang.
Hal itu disampaikan  Drg. Usman Sumantri M.Sc Kepala Badan PPSDMK Kementerian Kesehatan dalam diskusi publik Nusantara Sehat : Karir dokter dan dokter gigi di era JKN beberapa hari lalu di gedung Adiyatma Kementerian Kesehatan Jakarta. Dalam diskusi yang dipandu Maman Suherman “sang Notulen” dan Ira Koesno diikuti berbagai lapisan masyarakat, alumni dokter, Tenaga medis pemerintah dan swasta, Fakultas-fakultas kedokteran dan lain-lain.
Diskusi ini menyoroti peranan pemerintah dalam mendistribusikan dokter dan tenaga medis di daerah terutama di daerah terpencil untuk memberikan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerataan tenaga kesehatan mulai dari dokter, bidan, dokter gigi, analis kesehatan dan tenaga-tenaga medis lain yang diberi nama Nusantara Sehat adalah bentukan team kesehatan yang idenya digulirkan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek, sebagai alternatif menggantikan tenaga dokter PTT yang segera berakhir pelaksanaannya.
Penugasan khusus tenaga kesehatan berbasis tim (Nusantara Sehat) merupakan salah satu program prioritas Kementerian Kesehatan untuk memperkuat pelayanan kesehatan di Puskesmas di Daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Tahun 2015 lalu telah ditempatkan 120 tim tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter,dokter gigi,perawat,bidan,tenaga gizi,ahli gizi, laboratorium medik,tenaga kesehatan lingkungan,tenaga farmasi dan tenaga kesehatan masyarakat di 120 Puskesmas di DTPK.
Sayangnya penugasan khusus tenaga kesehatan berbasis tim (Nusantara Sehat)  masih memiliki kelemahan dimana tenaga medis dokter dan dokter gigi masih kekurangan peminat, sehingga di beberapa daerah tim yang bekerja ada yang tidak disertai dokter atau dokter gigi. Sebenarnya penugasan khusus tenaga kesehatan berbasis tim (Nusantara Sehat) memiliki kelebihan dibanding program dokter PTT yang selama ini dilaksanakan. Kelebihannya dengan berbasis tim, maka tenaga pelayan kesehatan menjadi lebih lengkap.
Selain itu sebelum diberangkatkan mereka diberikan training dan pelatihan selama 5 minggu. Tim peserta Nusantara Sehat diberikan pelatihan bela negara dan menjalani pelatihan semi militer selain memperkuat kemampuan medis yang sudah menjadi modal dasar peserta. Bahkan, mereka diajarkan saat harus berada di tengah medan perang, letusan senjata api seperti  melatih kemampuan mereka merayap, berguling untuk menyelamatkan diri. Ini dilakukan mengingat mereka akan ditempatkan di Puskesmasyang berada di perbatasan negara lain. Walau demikian,Puskesmas yang mereka tempati aman. Menteri Kesehatan RI Prof Dr dr Nila Moeloek, SpM(K) yang datang terlambat dalam diskusi, itu karena harus mengadakan jumpa pers berkaitan vaksin palsu, mengatakan Nusantara Sehat diharap dapat menekan beberapa masalah kesehatan yang masih tinggi. Angka kematian ibu, angka kematian bayi, gizi buruk, obesitas, dan penyakit tidak menular adalah contoh masalah yang diharapkan bisa diantisipasi.
Menteri Nila Moeloek dan DrG. Usman Sumantri dalam diskusi publik Nusantara Sehat. foto: Fauzi Nurhasan
Dr. Mari S Purba yang berdinas di distrik Minati Kabupaten Boven Digul menjadi salah seorang yang memberikan kesaksian suka dukanya menjalani tugas sebagai pelayan kesehatan bersama Team Nusantara Sehat selama 2 tahun. Sebelum menjalani sebagai tenaga medis team nusantara Sehat, dr Mari Purba masih bertugas sebagai tenaga medis di salah satu rumah sakit swasta di Medan. Pilihan menjadi tim Nusantara Sehat adalah keinginannya untuk mengabdi kepada masyarakat terpencil yang masih sangat kurang mendapatkan fasilitas kesehatan. Hal yang sama juga diakui oleh Dr Firman Budi yang bertugas di  Distrik Iwur, Kabupaten Pegunungan Bintang. Meski dalam penugasannya sempat mengalami sakit malaria dan harus dievakuasi ke rumah sakit Yowari Jayapura. Menurut Firman, pelatihan bela Negara yang diterimanya selama training Nusantara sehat mempertebal keinginannya mengabdi untuk masyarakat di daerah terpencil.
Hal yang kemudian muncul dalam diskusi publik Nusantara sehat adanya keluhan akan kelanjutan karir dokter para peserta tim Nusantara Sehat yang masih belum jelas, meski sebelumnya telah dijanjikan adanya beasiswa dan kemudahan untuk menjadi CPNS dan sebagainya. Nasib yang belum jelas ini memang sedang digodok dan diupayakan oleh Kementerian Kesehatan. Beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan ternyata tidak terlalu berarti karena peserta Nusantara sehat tidak secara otomatis dapat langsung diterima untuk melanjutkan menjadi dokter spesialis. Mereka seperti dokter-dokter lain harus menjalani test dan harus lulus test agar dapat melanjutkan jenjang pendidikannya.
Sebagian peserta diskusi mengharapkan adanya MOU antar Kemenkes dengan Dirjen Ristek Dikti agar para peserta Nusantara Sehat yang sudah menyelesaikan tugasnya mendapat kemudahan untuk melanjutkan jenjang pendidikan spesialis kedokteran. Dalam kesempatan diskusi, seraya bercanda Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, barangkali saja peserta Nusantara Sehat, karena masih muda bisa melupakan kekasih hati yang ditinggalkan di kota dan mendapat jodoh di tempat tugasnya, agar pengabdiannya bisa berlangsung lebih lama.”Tapi kalau nggak jodoh ya, ngak apa-apa, kalau kembali dan mau jadi PNS, Kemenkes akan berupaya membantu” jelasnya, yang kemudian meninggalkan ruangan karena harus menghadiri siding kabinet bersama Presiden.
Diakhir diskusi, notulen Maman Suherman membacakan harapan program Nusantara Sehat agar para dokter dan dokter gigi mau dan bersedia menutup kekosongan tenaga kesehatan khususnya di daerah terpencil Indonesia sebagai upaya meningkatlkan dan pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia.


Kamis, 14 Juli 2016

Mengendalikan harga daging sapi? Koperasi peternakan sapi pasti bisa

Menjelang bulan Ramadhan lalu, Presiden Jokowi mengatakan kedatangan ratusan ekor sapi dari NTT akan dapat menurunkan harga daging sapi ke kisaran Rp70.000 – 80.000/kg. Harga itu diperkirakan dapat dicapai karena harga daging sapi hidup berkisar Rp 35.000- 37.000/kg.
Hitung-hitungan presiden Jokowibarangkali bisa disebut sebagai harga yang realistis, meski pada akhirnya banyak yang mengatakan harga itu mustahil bisa dicapai. Kenyataannya memang menjelang lebaran harga daging sapi tetap melonjak mencapai diatas Rp 100.000/kg, bahkan ada yang mencapai Rp130.000/kg. Akhirnya Kementrian Perdagangan membuka keran impor daging sapi untuk menekan naiknya harga daging dan menjual daging impor dengan kisaran harga Rp85.000/kg.
Sebenarnya mengapa harga daging sapi begitu sulit untuk dikendalikan, diatur dan ditekan mencapai harga ideal konsumsi masyarakat? Mungkin harga ideal benar Rp85.000/kg, tetapi mestinya harga ideal itu bisa dicapai juga untuk harga daging sapi local, bukan daging sapi impor. Mengapa daging sapi local selalu lebih mahal dibandingkan harga daging sapi impor?
Program Pemerintah dengan menggunakan kapal angkut khusus ternak yang dapat mengangkut sekitar 500 ekor ternak menjadi andalan untuk mengatasi kurangnya pasokan daging sapi yang sebenarnya lebih banyak dikonsumsi masyarakat Jabodetabek. Kapal Camara Nusantara I berhasil membawa 300 ekor sapi dari Kupang, NTT dan 200 sapi Ongole dari Sumba.
Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mengklaim pengangkutan ternak dengan kapal, bisa menurunkan biaya angkut kapal. Dikatakan dengan pengangkutan lewat laut, biaya angkut bisa ditekan dari Rp1,8 juta per ekor menjadi Rp320 ribu per ekor. "Yang kedua, (susutnya) bobot menjadi turun dari 20 persen menjadi tiga persen," Kata Menteri Pertanian.
Mari sekarang kita analisa, benarkah mengangkut menggunakan kapal ternak sudah efisien dan dapat menurunkan harga daging sapi di Jabodetabek?
Harga daging sapi di petani NTT berkisar Rp 30.000/kg timbang hidup dengan biaya angkut  Rp2000-3000/kg sampai di karantina. Dengan biaya angkut Rp320.000 ekor maka untuk 1 ekor sapi harga beli dan siap diangkut ke Jakarta berkisar antara Rp 10.500 ribu – 11juta. Biaya pakan selama 5 hari dan resiko susut sebesar 5 % maka biaya tambahannya berkisar sekitar 1 juta (susut Rp 525.000 dan biaya pakan Rp475.000), maka kira-kira harga yang harus dibayar sekitar Rp 12 juta.
Perhitungan harga jual karkas daging sapi adalah 50% dari bobot sapi, karena selebihnya berupa kulit, tulang dan jeroan yang harganya jauh dibawah harga dagingnya. Jadi 50% dari 285kg X Rp85,000= Rp12.112.500. Pedagang masih untung Rp 112.500. ditambah sisa karkas yang rata-rata dijual Rp 25000 X 142.5 kg= Rp 3.562.500. Maka rata-rata keuntungan yang masih bisa diperoleh sebesar Rp 3.673.500.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan peneliti dari Fakultas Pertanian UNPAD tahun 2015 masih ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan seorang pedagang besar dari RPH sampai ke pasar. Biaya-biaya itu mulai dari sewa mobil,upah supir, upah tukang angkut, sewa tempat di RPH, retribusi potong, biaya potong, biaya menguliti dan membersihkan dan upah pemotongan yang mencapai Rp965.000/ekor. Jadi keuntungan Rp 3.673.500 – 965.000= Rp 2.708.500/ekor. Seandainya rata-rata untuk mengangkut sapi dari NTT sampai ke RPH Cakung dan dikirim ke pasar memakan waktu + 7 hari, maka seorang pedagang rata-rata mendapatkan penghasilan sekitar Rp 300-350 ribu/hari. Melihat perhitungan demikian, maka tidak heran banyak pedagang daging sapi yang mengatakan mustahil menjual dengan harga Rp 85.000/kg, apalagi dengan berbagai resiko yang harus dihadapi, belum lagi seandainya sapi itu mati diperjalanan.
KOPERASI sebagai mitra petani dan pedagang sapi.
Dengan permasalahan daerah penghasil sapi yang rata-rata jauh dari Jakarta, sedang konsumsi terbesar adalah masyarakat dan industry di sekitar Jabodetabek, maka perlu dicari solusi untuk memangkas biaya dan resiko agar daging sapi yang diterima masyarakat bisa relative ideal dari segi harga dan mutu. Mengkonsumsi daging sapi lokal berarti juga menyejahterakan peternak-peternak sapi. Berbeda dengan mengkonsumsi daging sapi impor yang lebih menguntungkan para pengusaha dan importer. Terlebih lagi dengan mengkonsumsi daging sapi lokal menunjukkan bahwa kualitas daging sapi lokal tidak lebih buruk dibandingkan daging sapi impor.
Koperasi harus didirikan di pusat-pusat peternakan sapi  seperti di Jawa Timur, Jawa  Tengah, NTT, NTB Bali atau daerah-daerah lain. Koperasi yang harus didirikan bertujuan menyiapkan infrastruktur agar masyarakat yang memerlukan daging sapi memperolehnya lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat. Jika daerah penghasil sapi letaknya jauh dari Jakarta atau Jabodetabek, mengapa RPHnya harus ada di Jakarta atau di Jabodetabek. Mengapa Koperasi tidak mendirikan RPH-RPH di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT atau NTB. Jika Koperasi mendirikan RPH di pusat-pusat peternakan yang letaknya tidak jauh dari peternakan, maka efisiensi biaya di RPH dapat ditekan seminimal mungkin. Tidak perlu ada biaya sewa mobil,supir, biaya angkut, sewa tempat RPH dll. Barangkali hanya perlu retribusi dan ongkos potong.
Selain itu Koperasi bisa bekerjasama dalam pengawasan RPH yang didirikan sehingga sapi yang akan dipotong benar-benar sapi yang memenuhi syarat. Misal ketentuan berat minimum, sehat dan jantan. Dengan demikian maka dokter-dokter hewan juga bisa dikirim ke daerah-daerah untuk memelihara kesehatan sapi peternak sampai siap untuk dipotong..
Apa lagi yang bisa dikerjakan koperasi?
Australia bisa mengirim daging-daging sapi beku dalam bentuk potongan-potongan besar dan dijual dengan harga yang lebih murah dari daging sapi lokal. ArtinyaJika Australia bisa mengirim dan menjual dengan harga murah, maka Kop[erasi juga bisa melakukan hal yang sama. Artinya perlu membangun Rumah pendingin (Cool storage) yang mampu menampung daging-daging sapi yang telah dipotong. Cool storage dengan kapasitas 20-50 ton (sesuai dengan kapasitas potong per hari/minggu) akan menjadi tempat penyimpanan sementara sebelum dikirim ke daerrah-daerah yang membutuhkan terutama Jakarta/Jabodetabek. Pengiriman bisa dilakukan dengan truck container berpendingin yang mampu menjaga kualitas daging hingga beberapa hari bahkan minggu.
Dengan pengepakan (packaging) yang baik maka daging-daging sapi itu dapat dikirim dan sudah terseleksi sesuai dengan potongan, kaki depan, kaki belakang, rib, tenderloin, sirloin, hati bahkan sampai kulit dan tulang belulangnya. Dengan dipilah-pilah sesuai potongan, maka sejak awal harga daging sudah bisa ditentukan oleh koperasi. Pedagang besar yang membeli dari koperasi bisa mendapat harga yang pantas untuk setiap kualifikasi daging sesuai dengan mutu potongan daging.
Masih adakah yang bisa dilakukan koperasi?
Setelah menguasai di bagian peternakan, dan RPH serta penyimpanannya, Koperasi bisa mendirikan divisi angkutan dan transportasi. Pengangkutan bisa menggunakan kontainer 20 F atau 40 F, yang pasti jumlah yang diangkut akan menjadi lebih banyak dengan resiko yang lebih kecil dibandingkankan mengangkut sapi hidup. Setelah dibekukan, daya susut daging bahkan mungkin bisa seperti target dari Menteri Pertanian yang besarnya 3%.
Selain itu, seandainya para pedagang besar tidak mau menampung daging dari koperasi, Koperasi bisa menyiapkan divisi pemasaran yang memasok daging sapi langsung ke pasar, industri restoran atau industri makanan olahan.  Koperasi akhirnya benar-benar bisa melakukan kegiatan dari hulu hingga hilir dalam mengatasi problema daging sapi yang tidak pernah kunjung selesai.
Reformasi dan Revitailasi Koperasi peternakan khususnya peternakan sapi bisa menjadi alternative yang baik dalam mengendalikan, mengatur dan menekan harga daging sapi sampai pada tingkat yang ideal. Bahkan dengan reformasi dan revitalisasi koperasi peternakan, bukan tidak mungkin Koperasi akan mampu menjadi eksportir daging sapi ke mancanegara, dan daging sapi Indonesia akan merajai perdagangan di Asia bahkan dunia.
Catatan.

Struktur biaya dan Margin dari RPH ke Pedagang Besar, penelitian oleh Zahra Nur Amirah, Maman Paturochman, Adjat Sudrajat Masdar; Fakultas Peternakan UNPAD, Alumni Fakultas Peternakan UNPAD thn 2015, Staf Pengajar Fakultas Peternakan UNPAD- Analisis Rantai Pasok Daging Sapi