Minggu, 19 Juni 2016

ANTI DBD, Vaksin Belum Ada, JUMANTIK jadi alternative preventif

Ketika mendengar symposium peringatan ASEAN Dengue Day ke 6, 15 Juni 2016 lalu di Grand Sahid Jaya hotel di Jakarta, isu yang saya dengar adalah peluncuran vaksin DBD. Ditemukannya vaksin DBD adalah sesuatu yang membuat saya takjub, karena sebagai orang tua, penyakit DBD adalah penyakit yang mengerikan, terutama bila menjangkit kepada anak-anak.
Bagi saya penyakit DBD atau demam berdarah adalah penyakit yang termasuk silent killer, penyakit yang mematikan secara diam-diam. Betapa tidak, penderita DBD, terutama anak-anak, gejalanya seperti panas biasa, demam atau pusing-pusing yang menyertai. Karena gejalanya yang hanya mirip-mirip penyakit panas pada umumnya, maka orang tua kebanyakan hanya akan memberi obat turun panas dan pain killer untuk meredakan panas dan pusingnya.
Jarang orang tua yang berinisiatif untuk memeriksa apakah ada ruam atau bintik-bintik yang menyertai (selain banyak yang tidak paham caranya) atau langsung membawa ke dokter. Biasanya setelah demam lebih dari 2 atau 3 hari, barulah dibawa ke puskesmas atau ke dokter untuk memeriksakan penyakitnya. Sering akhirnya orangtua terlambat memeriksakan ke dokter dan menangani secara serius, sehingga sudah tidak bisa diobati akhirnya meninggal. Inilah yang saya sebut dengan silent killer, penyakit yang mematikan, akibat kurangnya pemahaman dan lebih sering terlambat menanganinya.
Belum lagi penyakit ini ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti yang sangat mudah bersarang di rumah-rumah, dan tercatat sebagai jenis nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia. Dari data WHO, Indonesia merupakan Negara ke-2  diantara 30 negara endemik yang memiliki kasus DBD. Meski angka kematian akibat penyakit ini hanya sekitar 1%, terlihat dari data 34 provinsi thn 2015, dengan penderita 129.179, yang meninggal sebanyak 1240 orang, pemerintah sering menetapkan kasus DBD sebagai kategori bahaya.  Laporan terakhir yang bisa dirangkum menjelang akhir Januari 2016 ini, DBD sedikitnya sudah masuk ketagori bahaya di 3 wilayah yang berbeda di Indonesia, yakni Jambi, Jombang, dan Bogor.
Sepanjang 50 tahun, penyakit DBD telah menginvasi lebih dari 100 negara sejak tahun 1970 yang hanya tercatat 9 negara, sehingga DBD termasuk sebagai penyakit dengan penyebaran tercepat di dunia. Dengan penyebaran yang demikian cepat dan angka kerugian akibat kematian dan kerugian ekonomi berdasar riset Sanofi Pasteur selama 10 tahun sejak tahun 2001 mencapai $1 milyar/tahun.
Untuk memerangi penyakit DBD di ASEAN,  dibentuk suatu kesepakatan yang dicanangkan dalam ASEAN Health Ministers Meeting 22 Juli 2011 di Singapura dengan menetapkan 15 Juni sebagai ASEAN Dengue Day. Indonesia bertindak sebagai tuan rumah dalam peluncuran ADD 2011 di Jakarta dengan tema “Jakarta Call for Action on Combating Dengue”. Tahun ini yang bertindak sebagai tuan rumah peringatan ADD adalah Negara Thailand.
Hj. Airin R D, walikota Tangsel bersama Prof Dr dr Sri Rejeki dalam ADD 2016

Peringatan ADD 2016 tahun ini memang belum bisa meluncurkan vaksin seperti isu yang saya dengar, tetapi setidaknya melalui ADD tahun ini, diingatkan kembali bahwa untuk memerangi DBD adalah dengan cara memerangi nyamuk aedes aegypty sebagai vector pembawa penyakit DBD. Dalam diskusi ini  Prof. Dr dr Sri Rejeki Hadinegoro Sp.A(K) selaku ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) mengatakan, hingga saat ini memang belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan serangan penyakit DBD. Pasien yang terserang penyakit DBD hanya dilakukan upaya pemberian cairan, mengurangi bahaya shock, dan asupan oksigen, karena seringnya pasien mengalami sesak napas. Ketidaktahuan pasien dan keluarga tentang penanganan dini dan penanganan dokter di rumah sakit sering mengakibatkan konflik, karena keluarga pasien menganggap bahwa pasien tidak ditangani dan diobati.  Bahkan seringkali pasien dibawa ke rumah sakit ketika kondisinya sudah sangat parah dan terjadi pendarahan atau pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan kematian.
Perang terhadap DBD dilakukan dengan gerakan 1 rumah 1 jumantik (juru Pemantau jentik) ditambah dengan program 3 M plus. Gerakan ini merupakan program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pencegahan perkembangbiakan nyamuk dengan memberantas jentik-jentiknya. Pembersihan sarang-sarang nyamuk seperti tempat penampungan air (water tank), bak mandi, tempat penampungan dispenser, tempat minum binatang peliharaan (burung, ayam, kelinci dll) dan tempat-tempat dimana air tergenang. Para Jumantik harus secara konsisten melakukan pengawasan secara berkala karena kemampuan nyamuk berkembang biak yang sangat cepat (7-10 hari). Di setiap rumah diharapkan kepala keluarga menjadi pemimpin dalam melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk dan program 3 M plus, menguras, menutup dan mengubur serta langkah-langkah tambahan dengan menggunakan obat nyamuk/antinyamuk sesuai dosis dan petunjuk pemakaian pada kemasan; menggunakan kelambu saat tidur siang dan malam hari; menanam tanaman pengusir nyamuk seperti lavender, zodia; memelihara ikan yang dapat memakan jentik nyamuk pada kolam atau bak mandi; menghindari daerah gelap di dalam rumah agar tidak ditempati nyamuk dengan mengatur ventilasi dan pencahayaan; serta memberi bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan.
Walikota Tangerang Selatan. Hj. Airin Rachmi Diany membagi pengalaman gerakan 1 rumah 1 jumantik di Tangsel yang melibatkan 3 RW sebagai daerah percontohan nasional penanganan DBD. Di  RW 10, 12 dan 28 Perumahan Villa Inti Persada Pamulang, dibentuk pelatihan 450 mahasiswa sebagai kader Jumantik yang nantinya akan melatih warga untuk mencegah wabah DBD di tingkat RW. Hasil percontohan 3 RW di Tangsel itu menunjukkan angka indikator di Tangsel lebih rendah daripada indikator nasional. Angka indikator  nasional 49/100 artinya dari 100 ribu penduduk angka penderita maksimal 49, sedang di Tangsel angkanya 47/100.

Gerakan 1 rumah 1 jumantik yang menjadi program nasional pencegahan DBD adalah bentuk partisipasi masyarakat yang dihimpun secara berjenjang mulai dari Jumantik di tingkat rumah, kelompok RT, RW hingga tingkat yang lebih tinggi dengan mengumpulkan laporan dan data perkembangan dan pertumbuhan jentik nyamuk secara berkala. Dengan basis data ini diharapkan pencegahan secara dini Pemberantasan Sarang Nyamuk dapat mencegah mewabahnya DBD di tingkat masyarakat yang paling rendah.
Tulisan ini murni pendapat pribadi dan didukung oleh Sanofi group Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar